Selasa, 20 Januari 2015

Aku dan Rayhan; Dia Merindukanku!


Hari ini dia datang, tepat dua tahun berlalu disaat aku mungkin hampir melupakannya, tidak ada lagi pelukan, tidak lagi berlari ketika dia hendak menghampiriku, semuanya berubah, bahkan tingginya kini hampir sama denganku.

Ketika mataku menangkap kehadirannya, hal pertama yang aku rasakan adalah aku ingin berlari, secepat kakiku mampu membawaku kehadapannya, tanganku aku rentangkan selebar mungkin agar ia leluasa  berada dalam dekapanku, "Abang!" aku memekik. Aku merengkuhnya didalam pelukanku, mencium rambutnya yang tidak lagi seharum dua tahun yang lalu. Dia pun nampak senang bertemu denganku, tapi bedanya, kali ini dia tidak ingin berada terlalu lama dalam pelukanku. Entah kenapa.

"Kelas berapa sekarang?" aku membuka percakapan. Tidak boleh kalah. Aku tidak boleh kalah dengan rasa rinduku yang kian besar ingin aku hempaskan. Aku harus tetap terlihat normal agar ia nyaman berada didekatku.

Matanya mengerejap beberapa kali, ia menatapku, "kelas dua" sahutnya.

Ya dia sudah bukan anak berumur 5 tahun lagi sekarang. Bukan lagi anak kecil yang bisa diam dari tangisnya ketika aku membacakannya cerita tentang Spiderman. Bukan lagi anak kecil yang senang merusak sarang laba-laba dan memperhatikan barisan semut yang sedang pindah rumah.

"wah abang sudah besar sekarang, kemarin rengking berapa?" Aku melanjutkan percakapanku bersamanya, masih se-normal mungkin.

"engga ada rengking"

Aku tersenyum tanda mengerti. "sini deh!" sahutku. aku menarik tangannya agar posisinya lebih dekat denganku. aku tau, sama sepertiku, dia pun merindukanku. pasti ada satu atau dua kenangan yang tersimpan abadi didalam hatinya. Entah itu saat kami berdua sibuk mencari sarang laba-laba, atau pada saat kami berdebat konyol tentang siput atau mungkin pada saat betapa khawatirnya aku ketika dia sakit panas tinggi dan aku tidak bisa melepaskan pelukanku darinya, "abang suka pelajaran apa?" tanyaku.

"matematika" jawabnya pasti.

Aku tidak terkejut. sejak aku mengenalnya dia termasuk anak yang sangat cerdas. sangat cerdas. dia berbeda dengan yang lainnya. semua benda disekitarnya adalah laboratorium pribadi baginya untuk bereksperimen. Seperti dua tahun lalu, saat dia melihat pancuran air di kolam renang, dia membuka-tutup tangannya pada air yang sedang mengalir dari pancuran itu. Aku memperhatikannya dari jauh. sadar sedang aku perhatikan, kemudian dia menghampiriku.

"bu, kok air nggak bisa dipegang?" tanyanya padaku

aku terdiam sejenak. berfikir. betapa cerdasnya dia. usianya baru 5 tahun. "karena air benda cair, sayang" jawabku.

"benda cair itu apa?" tanyanya.

okeh, harus aku jelaskan dengan sederhana karena dia masih anak-anak, pikirku.

"benda cair itu seperti kecap, sirup, susu cair, minuman dan air ini, semuanya benda cair. benda cair tidak bisa kamu pegang. yang bisa kamu pegang hanya benda padat, benda yang keras, seperti batu, pensil, penghapus, uang, makanan dan pelampung ini" jawabku, sambil aku memegang pelampung yang sedang ia kenakan untuk berenang.

ia mengerejapkan matanya beberapa kali.

"coba abang pegang ini!" aku mengambil batu dari pinggir kolam renang dan menaruhnya di tangannya, "bisa abang pegang tidak?" tanyaku.

dia mengangguk.

"ini batu, ini benda padat, makanya bisa abang pegang" aku menjelaskan.

dia mengangguk lagi, kemudian dia melemparkan batu kecil itu ke kolam renang dan dia turun kembali ke kolam renang untuk kembali berenang bersama teman-temannya.
kebiasaannya adalah, jika dia sudah menemukan jawaban dariku atas rasa penasarannya, dia akan kembali pergi bermain bersama teman-temannya.


Hari ini, dua  tahun setelah kejadian itu terjadi, saat dia bilang matematika adalah mata pelajaran favoritnya, aku sama sekali tidak kaget. aku malah sudah menebak jika dia akan menjawab demikian.

"abang kangen dengan ibu tidak?" tanyaku, sedikit menggodanya.

dia terdiam, mengangguk lemah.

aku tersenyum.

Tiba-tiba adiknya yang berumur 3 tahun yang juga adalah muridku datang menghampiri kami "Ade juga kangen ibu, sama kayak abang" sahutnya sambil memeluk kakiku.

Ah, rupanya dia memperhatikan kami sejak tadi. Dan dia tidak rela jika guru kesayangannya merindukan abangnya. Aku berlutut di hadapannya, memeluknya, dan mencium rambutnya, "iya sayang" ujarku.


"Kangen tapi galak!" Abang menyela.

"Ade ngga galak sama ibu" Ade menyela balik.

Aku tertawa kecil melihat kelakuan dua kakak beradik ini. aku senang. kenapa senang? mungkin kalian tidak tahu, tapi pertengkaran mereka terjadi karena mereka menyayangiku. benar bukan?

"yasudah, kita cari bekicot yuk!" leraiku.


Kami bertiga bermain mencari bekicot. Bahkan bekicot pun akan terlihat luar biasa saat kamu melihatnya bersama dengan orang-orang yang berarti bagimu. Kami tertawa dan bercanda sampai akhirnya mama mereka datang dan menjemput pulang mereka berdua.

"terimakasih Tuhan, aku menemukan satu lagi alasan kenapa aku berada disini. RencanaMu selalu terlalu indah" bisikku dalam hati.


Rayhan.

Seorang jenius yang dimana tanganku, hatiku dan pikirianku pernah ikut terlibat dalam perkembangan di masa anak-anaknya. Cinta pertamaku saat aku menjadi guru untuk pertama kalinya. Dia yang membukakan mataku, betapa luar biasanya dunia anak -anak dan betapa aku ingin terus mendalami, memahami dan mempelajari dunia ini dengan sebaik-baiknya.
Dia salah satu alasanku untuk terus belajar dan belajar dan belajar.
Selamanya aku akan terus berada dibelakangnya, memberikan dukungan untuknya dengan doa yang tidak pernah putus, doa untuk kesuksesannya dan keberhasilannya di masa depan. Untuk menjadi kebanggan Indonesia dan Dunia. Karena aku salah satu dari sedikit orang yang yakin bahwa dia bisa menjadi seperti itu.

Dia bukan hanya muridku, dia lebih dari sekedar itu.

Dia memanggilku ibu.

Dia anakku.
Copyright by © Annis Mahara